expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Ragam Tes Pemeriksaan HIV

           UNTUK menetapkan apakah seseorang terinfeksi HIV atau tidak, dokter akan melakukan beberapa macam tes. Tes ini bertujuan untuk mengetahui seseorang terinfeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) atau tidak. Tes HIV dapat dilakukan melalui program Voluntary Counselling and Testing (VCT) ataupun Provider Initiated Testing and Conselling (PITC). Melalui VCT seseorang dapat secara sukarela meminta untuk diperiksa apakah ia terinfeksi HIV atau tidak.

          Meskipun VCT sifatnya sukarela, namun banyak orang yang datang ke fasilitas kesehatan dalam keadaan terlambat. Artinya,sudah timbul gejala- gejala yang mengarah ke HIV/AIDS, baru ia datang memeriksakan diri. Dr. July Kumalawati, DMM, Sp.PK(K) dari Departemen Patologi Klinik FKUI-RSCM sangat menyayangkan hal tersebut. 'Alangkah baiknya jika tes HIV ini bisa dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat untuk deteksi dini HIV. Karena gejala HIV memang akan muncul setelah sekian tahun orang terinfeksi HIV"jelasnya.

            Sedangkan melalui PICT, dokter dapat menyarankan pasiennya untuk memeriksakan diri jika dirasa perlu. Biasanya karena ada faktor risiko, misalnya pengguna narkoba suntik, memiliki pasangan yang positif HIV, atau anak dengan ibu HIV. Namun demikian pelaksanaan tes HIV ini tetap harus dengan persetujuan pasien.
 

Siapa saja yang sebaiknya diperiksa tes HIV?
            Tes HIV direkomendasikan untuk mereka yang mempunyai risiko tertular HIV. Penularan HIV dapat melalui hubungan seksual, melalui alat yang tidak steril setelah dipakai pengidap HIV, misalnya jarum suntik, jarum tato, pisau cukur. Penularan HIV bisa juga melalui transfusi darah.
 
Kapan tes HIV dilakukan?
             Dokter yang telah berperan dalam Laboratorium Rujukan Nasional HIV mulai tahun 1997 ini menjelaskan bahwa ada masa jendela (window periode) yaitu waktu dimana seseorang sudah tertular HIV namun jika dilakukan pemeriksaan maka hasil tesnya negatif.Oleh karenanya pemeriksaan dilakukan setelah masa jendela terlewati. Lamanya masa jendela ini berbeda-beda untuk setiap jenis pemeriksaan. Masa jendela untuk tes antibodi terhadap antigen HIV yang digunakan unutk diagnosis di Indonesia saat ini adalah 1-3 bulan. Untuk pemeriksaan menggunakan metode PCR (Polimerase Chain Reaction), masa jendelanya adalah 5-7 hari.Sedangkan masa jendela untuk pemeriksaan antigen HIV adalah 1-3 minggu.
 
         Metode yang digunakan saat ini, penegakan diagnosis HIV menggunakan deteksi antibodi terhadap HIV, bukan dengan pemeriksaan PCR maupun antigen. Karena sama dengan infeksi virus lainnya,infeksi HIV akan menimbulkan reaksi antibodi yang kemudian dideteksi dengan alat tertentu kemudian diinterpretasikan. "Pada dasarnya ditunggu apakah nanti muncul antibodi atau tidak" imbuh konsultan penyakit infeksi patologi klinik ini. Setiap pemeriksaan mempunyai kelemahan,dapat positif palsu maupun negatif palsu.
 
           Secara umum pemeriksaan antibodi dibagi menjadi dua tahap, yaitu pemeriksaan penyaring yang sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi. Pemeriksaan penyaring biasanya dilakukan menggunakan tes antibodi. Semua pemeriksaan antigen-antibodi ada cross-reaction atau reaksi silangnya. Contohnya, apabila seseorang mengalami infeksi A bisa jadi timbul antibodi yang mirip dengan antibodi HIV. Oleh karena itu bisa saja terjadi positif palsu karena reaksi silang dengan antibodi lain. Pada pemeriksaan HIV bisa juga terjadi negatif palsu karena reagen tidak mengenali antibodi HIV. HIV bisa terus bermutasi. Setiap waktu virusnya bisa berubah,di daerah yang berbeda virusnya pun bisa berbeda.Oleh karena itu harus mencari reagen yang cocok untuk di tempat masing-masing.
 
            WHO sendiri mengharuskan setiap negara untuk melakukan uji coba atau evaluasi terhadap reagen yang cocok di wilayahnya masing-masing. Uji coba ini pun harus dilakukan secara berkala dan terus-menerus sebab bisa saja reagen yang ada sekarang tidak bisa lagi mengenali virus HIV 5 tahun yang akan datang karena virusnya mengalami mutasi.
 
            Hasil dari pemeriksaan antibodi dinyatakan "reaktif" dan belum dikatakan "positif "jika belum melalui uji konfirmasi. Pada hakikatnya diagnosis HIV tidak hanya berdasarkan hasil laboratorium atau hasil tes penyaring semata melainkan harus dibarengi dengan evaluasi klinis atau kondisi kesehatan pasien. Jika kondisi pasien termasuk dalam risiko terkena HIV menunjukkan gejala dan tanda- tanda penurunan sistem kekebalan tubuh yang nyata, maka hasil tes penyaring yang reaktif cukup untuk menyimpulkan bahwa ia terinfeksi HIV. Namun apabila hasil tes penyaring reaktif tetapi tidak disertai tanda dan gejala yang mengarah ke penurunan sistem imun, maka masih memerlukan tes konfirmasi menggunakan metode Western Blot.
 
        Tes konfirmasi yang dilakukan adalah tes untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen virus HIV.Kriteria pemeriksaan konfirmasi adalah minimal dari dua antibodi yang berbeda.yaitu antibodi yang asalnya dari core/inti dan envelope. Dikatakan positif jika kedua pemeriksaan antibodi ini positif, tetapi jika salah satu saja yang positif maka dinyatakan "belum dapat ditentukan" atau "indeterminate". Hasil indeterminate dapat disebabkan oleh pembentukan antibodi yang belum lengkap atau reaksi silang oleh antibodi lain. Pada keadaan tersebut perlu dilakukan pemantauan dengan mengulang pemeriksaan minimal setiap 3 bulan.
 
         Jika setahun kemudian diperiksa kembali dan hasilnya masih juga “indeterminate”, maka dinyatakan tidak terinfeksi HIV. Pemeriksaan ulang dengan hasil yang negatif juga berarti orang tersebut tidak terinfeksi HIV. Pada orang dengan klinis atau penurunan kekebalan tubuh yang berat dapat juga hasil pemeriksaannya negatif karena sistem imun yang terlalu rendah sehingga tidak bereaksi. Pada orang seperti ini tetap disimpulkan bahwa dia terinfeksi HIV. "Oleh karenanya, pelaksanaan dan interpretasi pemeriksaan HIV ini sangat individual, kasus-per kasus" tambahnya.
 

Pemilihan Reagen
          Di Indonesia jumlah penyandang HIV kurang dari 10% populasi, sesuai dengan saran dari WHO dan UNG pemeriksaan HIV di Indonesia mengikuti pemeriksaan HIV strategi tiga,yakni pemeriksaan yang dilakukan harus dengan tiga jenis reagen yang berbeda. Syarat reagen pertama adalah reagen yang paling sensitif yang ada di Indonesia,yaitu di atas 99%Jika hasil pemeriksaan pertama reaktif maka dilanjutkan dengan reagen kedua. Jika reagen kedua reaktif,maka dilanjutkan dengan reagen ketiga. Jika hasil dari ketiga reagen tersebut reaktif maka dinyatakan sebagai "reaktif"

          Syarat reagen kedua dan ketiga adalah spesifisitasnya yang tinggi (spesifik terhadap virus HIV). Agar hasilnya akurat, dalam melakukan pemeriksaan ketiga antigen yang digunakan harus berbeda atau bisa menggunakan antigen yang sama tetapi metode yang dipakai untuk setiap pemeriksaan berbeda. Rangkaian tiga pemeriksaan ini harus dilakukan sebelum mengumumkan hasilnya. Namun jika pemeriksaan pertama negatif maka tidak perlu dilanjutkan pemeriksaan kedua dan ketiga.
 

Di mana Tes HIV bisa dilakukan?
          Untuk pemeriksaan penyaring sudah dapat dilakukan hampir di semua rumah sakit pemerintah, pusat-pusat kesehatan dan beberapa laboratorium swasta. Untuk pemeriksaan konfirmasi dapat dilakukan di RSCM,RS Sulianti Saroso, dan Balai Laboratorium Kesehatan Surabaya.
 

Saran untuk Laboratorium
            Untuk menjaga agar tidak salah diagnosis, apalagi HIV mempunyai dampak sosial maka Dr. July menyarankan kepada laboratorium untuk tidak mengeluarkan hasil setelah pemeriksaan pertama saja. Harus dilanjutkan pemeriksaan kedua dan ketiga. Apalagi jika hasilnya positif, diagnosisnya harus benar-benar dipastikan. Jika hasilnya meragukan laboratorium biasanya akan meminta bahan baru untuk diperiksa."Jangan ragu jika nanti saat Anda melakukan tes HIV, kadang-kadang Anda akan kembali diminta bahan pemeriksaan oleh laboratorium untuk memastikan diagnosisnya tidak salah" tegasnya.
 

Tes HIV: harus Informed Consent
          Dr. July secara pribadi menyarankan agar setiap dokter atau laboratorium yang melakukan tes HIV kepada pasien untuk melakukan informed consent, pasien harus dijelaskan mengenai pemeriksaan tersebut."Tes HIV adalah satu-satunya tes laboratorium yang harus informed consent", tegasnya. Sebaiknya pernyataan tertulis bahwa pasien bersedia diperiksa HIV. Ini penting karena bisa saja nanti pasien mengelak saat dilakukan pemeriksaan.
 
         Sebelum dilakukan tes HIV, sebaiknya pasien diberikan konseling mengenai cara penularan, pemeriksaan, bagaimana jika hasilnya positif atau negatif, serta perlunya perubahan perilaku jika hasilnya positif.

3 comments :

  1. weleh weleh.. saya baru sadar baru-baru ini lo kalau Odha itu ternyata singkatan dari Orang d HIV Aids :)
    DARa's Share

    ReplyDelete
  2. Kalau kantung darah dari PMI sudah pasti bebas HIV ngga ya? Waktu jadi pasien dan harus ditranfusi darah sampai lima kantung, saya sudah pasrah dan ngga tanya2 lagi.

    ReplyDelete
  3. @Mbak Dyah Ayu Rahmawati: lha emang sebelumnya pingsan ya mbak, kok baru sadar, hehehehe.... Iya mbak itu singkatan dari Orang dengan HIV Aids. Kalau dulu singkatannya OHIDA (Orang Hidup Dengan Aids)

    @Mbak Lina Gustian: Ya mbak, sebab sebelum diedarkan harus diskrining, harus lolos test HIV dulu. Makanya Darah Donor itu mahal, yang membuat mahal adalah reagen untuk test pemeriksaan tersebut.

    Untuk Anda berdua, saya ucapkan terima kasih telah memberi komentar sesuai tema artikel

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...