expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

KOntroversi Pasien Ditolak Rumah Sakit


ORANG miskin dilarang sakit, slogan ini sudah cukup sering kita dengar. Hampir semua orang orang pernah mendengar cerita tentang pasien yang ditolak oleh rumah sakit. Bahkan, ada cerita bahwa pasien terlunta-lunta dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain sampai akhirnya meninggal. Sebegitu teganya pihak dokter dan rumah sakit membiarkan orang yang membutuhkan pertolongan? Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari buka pikiran dan simak beberapa alasan mengapa rumah sakit ‘menolak’ pasien.


RUMAH SAKIT PENUH
Secara fisik, sebuah rumah sakit memiliki jumlah ruangan dan tempat tidur terbatas. Ruangan inipun masih dibagi-bagi menjadi ruang untuk Instalasi Gawat Darurat (IGD), ruang perawatan infeksi, ruang perawatan non-infeksi, ruang ICU/NICU/PICU, ruang perawatan anak, ruang perawatan bayi dan lain sebagainya.

 Ruang IGD biasanya dikhususkan untuk menangani pasien yang sedang dalam keadaan gawat (dengan penyakit berat) dan darurat (harus segera ditangani). Bila keadaan sudah stabil dan tidak memerlukan pengawasan ketat, pasien akan dipindah ke ruang perawatan. Dengan demikian, pasien dapat beristirahat dan memberi jalan bagi pasien gawat darurat lain yang hendak masuk dan membutuhkan perawatan. Pasien yang tidak  dalam kondisi gawat darurat juga umumnya tidak di anjurkan untuk ke IGD. Biasanya, karena ingin cepat ditangani pasien nekat ke IGD padahal ia masih bisa antri berobat di Poli. Tidak heran jika pasien seperti ini kemudian diminta untuk angkat kaki dari IGD. Bukan karena ditolak, melainkan karena kurang tahu tempat. Pasalnya, bukan tidak mungkin akan ada pasien lain yang lebih membutuhkan datang sewaktu-waktu. 
       Masalah tidak berakhir di IGD. Ruang perawatan pun memilki tempat yang terbatas. Selain memisahkan pasien berdasarkan kelas kamar yang diinginkan, biasanya pasien dengan penyakit menular dan tidak menular dipisahkan agar pasien tidak mendapat infeksi dari pasien lainnya. Ruang perawatan antara pria dan wanita umumnya juga di pisahkan demi kesopanan. Inilah mengapa ruang perawatan sering dikatakan penuh, padahal terlihat masih ada yang kosong. Meski demikian, tidak jarang hal ini menimbulkan kesalahpahaman bahwa rumah sakit menolak pasien karena miskin. Padahal, memang ketersediaan di rumah sakit yang tidak ada. Serba salahnya, pasien tentu tidak mau dirawat dengan fasilitas yang tidak layak kecuali terpaksa, seperti misalnya saat terjadi kasus luar biasa, misal keracunan massal atau bencana alam.
       Selain ruang perawatan, ruang yang cukup sering menjadi masalah adalah ruang ICU/NICU/ICCU, dan semua yang menjanjikan pengawasan ketat. Bergantung pada besar rumah sakit, jenis ruang perawatan ini mungkin hanya memilki dua hingga enam tempat tidur.  Maka jangan heran jika ruangan ICU/NICU sering menjadi ‘rebutan’. Padahal, kasus yang memerlukan pengawasan ketat cukup banyak. Sebut saja stroke, serangan jantung, kasus-kasus komplikasi, dan kasus-kasus lain yang jika tidak ditangani maksimal dapat berujung dengan kematian. Bahkan, di rumah sakit rujukan yang cukup besar sekalipun, jumlah tempat yang tersedia untuk ruangan ini sangat terbatas. Ini karena ICU/NICU adalah ruangan dengan peralatan terlengkap dan jumlah petugas kesehatan terbanyak di rumah sakit.


KETERBATASAN STAF RUMAH SAKIT
Selain masalah ruangan, hal lain yang menyebabkan rumah sakit dengan berat hati menolak pasien adalah karena keterbatasan jumlah dan keahlian staf. Idealnya, satu orang perawat hanya bertanggung jawab merawat lima orang pasien, dan idealnya seorang dokter membutuhkan waktu sedikitnya 15 menit untuk memeriksa satu orang pasien. Namun kenyataannya, seringkali perawat dan dokter pontang panting karena jumlah pasien yang membludak. Hal ini tidak hanya terjadi sesekali, melainkan hampir setiap hari, terutama di rumah sakit yang cukup ramai dan merupakan rumah sakit rujukan. Maka jangan sakit hati jika rumah sakit menolak anda. Bukan karena anda miskin, melainkan karena takut tidak dapat melakukan perawatan secara maksimal.

Adakalanya, rumah sakit tidak memiliki fasilitas atau alat dan dokter yang cukup ahli untuk menangani penyakit yang dialami pasien, sehingga pasien dianjurkan untuk mencari rumah sakit dengan fasilitas dan dokter yang lebih baik. Rumak sakit perujuk dapat meminta keluarga pasien untuk mencari tahu ketersediaan tempat di rumah sakit rujukan melalui telepon atau dengan langsung mendatangi rumah sakit tersebut. Ini karena rumah sakit rujukan memiliki fasilitas lebih lengkap, sehingga tidak pelak lagi juga menerima rujukan-rujukan dari rumah sakit lainnya. Kemungkinan penuh menjadi lebih besar, bahkan ada yang membuat kebijakan, jika pasien tidak di bawa maka tempat perawatan tidak dapat dibooking. Terkadang, rumah sakit meminta pasien tetap di IGD sambil keluarganya mencari tempat. Namun, keluarga memaksakan diri agar pasien ikut dibawa. Inilah yang menyebabkan timbul pemberitaan bahwa pasien ikut dibawa-bawa dan terlunta-lunta di rumah sakit.
Tidak semua rumah sakit memiliki dokter spesialis atau subspesialis yang lengkap. Seorang dokter juga hanya boleh berpraktik tidak lebih dari tiga rumah sakit, sehingga tenaga dokter spesialis dan subspesialis yang masih terbatas jumlahnya tidak dapat memenuhi pesatnya pertambahan jumlah rumah sakit. Padahal, adalah kewajiban dokter untuk menyerahkan pasien kepada dokter yang lebih ahli di bidangnya. Jika tidak di rujuk dan coba-coba dirawat sendiri, malah ini dapat dianggap dengan tindakan malpraktik. Meski demikian, pasien terkadang memaksa dokter dan menganggap bahwa semua dokter tahu segalanya. Sekali lagi, ini adalah kesalahpahaman yang sehari-hari dihadapi oleh dokter. 


KETERBATASAN FASILITAS DAN KONDISI PASIEN YANG TERLALU BERAT
Dokter mungkin merujuk pasien agar pasien mendapat perawatan di rumah sakit khusus agar mendapat perawatan dan fasilitas yang lebih baik. Jika diperkirakan sewktu-waktu membutuhkan tindakan dengan cepat, pasien juga untung karena tidak harus pindah rumah sakit terlebih dahulu. Apalagi, beberapa rumah sakit dikenal memiliki staf dan alat yang lebih lengkap. Misalnya rumah sakit khusus jantung, rumah sakit khusus stroke, dan lain sebagainya. Namun, pasien tidak jarang mengira bahwa ia diusir karena tidak punya uang. 

Setiap rumah sakit memiliki kelengkapan alat yang berbeda-beda. Bahkan, sejak zaman dahulu tidak jarang pasien dibawa ke rumah sakit lain hanya untuk mendapatkan pemeriksaan atau tindakan khusus. Teknologi kedokteran saat ini semakin canggih, sedangkan alatnya sangat mahal sekali sehingga hanya beberapa rumah sakit yang menyediakannya. Tidak heran jika pasien terpaksa dirujuk ke rumah sakit lain untuk menjalani kateterisasi jantung, misalnya.


BIROKRASI YANG BERBELIT-BELIT
Jika anda memiliki asuransi, ada baiknya mencari tahu rumah sakit mana yang dapat menerima asuransi tempat anda bernaung di saat sehat. Cari tahu juga tentang sistem rujukan, berkas-berkas yang yang diperlukan, dan kasus-kasus gawat darurat yang membolehkan anda untuk datang langsung ke IGD tanpa rujukan. Pada saat sakit, apalagi jika sakit sudah berat dan dibiarkan berhari-hari, keluarga terkadang panik dan membawa ke rumah sakit terdekat, yang mungkin bukan rumah sakit rujukan. Dan bila tenyata kondisi pasien dianggap masih layak rawat jalan, pasien terpaksa dialihkan ke Poli, sehingga memerlukan surat rujukan dari klinik pelayanan primer. Permintaan surat rujukan ini pun tidak dapat diwakili. Pasien harus ikut karena dokter di pelayanan primer perlu menilai apakah kondisi pasien perlu dibawa ke rumah sakit atau cukup dirawat jalan dengan obat-obatan.

Ketidaktahuan sering membuat pasien datang sudah dalam keadaan terlambat karena harus bolak-balik dan mempersiapkan berkas-berkas. Kondisi pasien mungkin jadi memburuk selama di perjalanan. Ini membuat keluarga menjadi murka kepada dokter da rumah sakit. Padahal, tidak ada satupun dokter dan perawat yang ingin pasiennya meninggal. Mereka hanya menjalankan tugas, dan tugas anda untuk membantu mereka agar pasien mendapatkan perawatan yang optimal.

Masalah dengan jaminan kesehatan juga menjadi rumit karena masing-masing asuransi dan jaminan kesehatan memberikan kriteria kasus-kasus yang boleh mendapatkan perawatan di rumah sakit. Jika tidak termasuk kedalam kriteria ini, asuransi tidak akan mengganti biaya pengobatan sehingga rumah sakit menghadapi dilema yang pelik, antara menerima pasien atau mengalami kerugian.


SOLUSI RUMIT UNTUK MASALAH YANG PELIK
Masalah penolakan di rumah sakit sesungguhnya sangat pelik dan tidak dapat dijabarkan satu persatu. Ada banyak faktor yang berperan dan saling terjalin bak benang kusut. Saat ini beberapa rumah sakit sudah memajang jumlah tempat yang tersedia di masing-masing ruangan melalui layar di rumah sakit atau secara on-line.

Rumah sakit juga berkewajiban untuk meningkatkan fasilitas dan pelayanan yang lebih baik, meski tidak dapat dipungkiri semu itu membutuhkan usaha yang panjang dan berliku-liku. Di sisi lain, perlu ada perbaikan sistem jaminan kesehatan sehingga kebutuhan pasien dapat terlayani tanpa merugikan rumah sakit. Banyak orang yang mengira bahwa rumah sakit sudah pasti untung. Nyatanya, banyak rumah sakit yang menerapkan sistem subsidi silang dari pasien dengan biaya sendiri ke pasien yang tidak mampu agar tetap dapat beroperasi.
Jadi, lain kali jika anda membaca tentang rumah sakit menolak pasien, cermati dan jadilah masyarakat yang cerdas.

No comments :

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...