expr:class='"loading" + data:blog.mobileClass'>

Pendidikan Seks untuk Anak Autis

Pendidikan Seks Anak Autis
Pendidikan seks kerap dianggap remeh oleh orang tua yang memiliki anak autis. Padahal, ini penting bagi sang anak untuk mencegah terjadinya penyimpangan perilaku seksual. Seperti umumnya anak, penyandang autis akan mengalami perkembangan normal, baik fisik maupun hormonal termasuk perkembangan seksual.
Anak autis pun punya dorongan yang sama seperti remaja normal umumnya. Keterbatasannya dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial daan berperilaku  yang dialami anak autis kerap membuatnya tidak memahami aturan-aturan yang berlaku dimasyarakat. Sehingga, dorongan seks kerap menjebaknya dalam masalah perilaku seksual, seperti kebiasaan memegang kemaluan atau menyentuh bagian privat tubuh orang lain.

SERING TERLUPAKAN
      Pendidikan seks pada anak dengan gangguan autis sayangnya kerap terabaikan. Kebanyakan orang tua lebih disibukkan dengan persoalan komunikasi dan bidang akademik anak. Mereka berharap, suatu saat anak-anak mereka bisa memiliki prestasi seperti anak normal lainnya. Padahal,  anak dengan gangguan autisme biasanya tidak mengalami hambatan pertumbuhan. Begitu juga dengan pertumbuhan fungsi organ-organ seksual. Mereka tetap memiliki dorongan seksual yang sama dengan anak seusianyasaat memasuki usia remaja. Sebab itu, pendidikan sama pentingya dengan pendidikan berkomunikasi dan akademik lainnya.

         Anak dengan autis yang tidak mendapatkan pendidikan seks,  umumnya akan memiliki masalah dengan perilaku seksualnya, seperti melakukan masturbasi ditempat umum atau menyentuh bagian privat tubuh orang lain. Kita tak bisa menyalahkannya pasalnya anak autis tidak memahami norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Tak heran, ketika muncul dorongan  seksual, dengan spontan mereka exspresikan ke orang lain tanpa memahami bahwa hal itu bisa membuatnya dan orang lain malu.

        Sementara sebagian orang tua cenderung baru perhatian setelah anak berperilaku seksual yang tidak sesuai. Oleh sebab itu, penting bagi orang tua untuk tetap mengedukasi buah hatinya yang menyandang autis dengan pendidikan seks, yaitu melalui penjelasan tentang norma sosial yang lebih sederhana dan nyata.

 
HARUS DILATIH
         Mengajarkan hal seksualitas pada anak penyandang autis diaku tidaklah mudah. Namun, bila diajarkan sesuai dengan tingkat pemahaman anak dan dilakukan secara berulang-ulang, besar kemungkinan anak akan mengerti. Cara paling tepat dalam memberikan edukasi seks pada mereka adalah dengan memperhatikan tiga hal.

         Pertama, dengan memperhatikan perkembangan fisik organ seksual anak. Ketika organ-organ seksual anak mulai matang, orang tua harus lebih waspada memperhatikan dampak dari kematangan organ tersebut terhadap emosi dan perilaku anak.

          Kedua, perhatikan perilaku seksual anak. Sebagai bentuk exspresi anak ketika menyalurkan dorongan seksual yang sedang muncul pada dirinya. Jika perilaku terseebut ditampilkan pada waktu dan tempat yang tidak tepat, orang tua harus melatih anak untuk menahan dorongannya dan mengalihkannya pada hal-hal yang lain. Hal tersebut harus dilatih dengan pendampingan rutin dari orang tua sampai anak bisa melakukannya sendiri. Kematangan organ seksual secara hormonal akan menyebabkan munculnya dorongan seksual pada individu. Dorongan tersebut akan menyebabkan individu memunculkan perilaku-perilaku tertentu yang bertujuan untuk menyalurkan dorongan seksual, yang disebut sebagai perilaku seksual. Orang tua harus jeli dalam memperhatikan perilaku seksual yang muncul pada anak.

         Ketiga, perhatikan usia mental anak. Usia mental bicara tentang kematangan emosional dan keecerdasan anak. Ketika edukasi seks diberikan, bahasa dan jenis latihan yang digunakan oleh orang tua harus sesuai dengan usia mental anak. Misalnya, anak dengan autisme berusia 6 tahun, sebaiknya latihan dan instruksi yang diberikan harus sederhana seperti layaknya ketika orang tua bicara dengan anak berusia 6 tahun.

 
KALIMAT SEDERHANA
         Pemberian edukasi seks pada anak autis umumnya terkendala oleh usia mental anak yang kadang berada jauh dibawah usia yang sesungguhnya. Pada kondisi ini orang tua perlu menyederhanakan kalimat saja saat memberikan pemahaman. Selain itu, latihan-latihan yang praktis dengan situasi dan kondisi yang semirip mungkin dengan kondisi sehari-hari anak juga patut diberikan. Berikutnya, orang tua hanya perlu melakukan pengulangan-pengulangan latihan hingga anak terbiasa untuk mampu melakukannya sendiri meskipun tidak ada orang dewasa yang mendampingi.

       Anak dengan autisme, sekali lagi merupakan anak dengan pemahaman norma sosial yang tidak sesuai dengan usianya. Umumnya, mereka cukup sulit memahami penjelasan mengenai “WHY” dan “HOW” dari peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu dibutuhkan penjelasan yang sangat sederhana dan latihan yang sangat praktis untuk mereka.

        Sayangnya, orang tua kerap kurang sabar dan gigih. Kadang, orang tua sudah membatasi diri dengan pernyataan bahwa, “Saya sudah coba berulang-ulang namun dia tetap tidak mengerti jika belum saya hukum,” atau, “Saya bukan orang yang kreatif, harus mencari banyak ide supaya anak ini paham dengan maksud saya, wah, itu terlalu sulit buat saya.”

       Padahal, ketika orang tua sudah membatasi diri mereka, biasanya latihan dan penjelasan yang diberikan pada anak cenderung monoton dan diberikan dalam situasi yang penuh tekanan. Hal itu akan menambah tekanan emosi pada anak, sehingga anak autis akan jauh lebih sulit dilatih ketimbang anak dengan autisme yang positif emosinya.

No comments :

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...