Saliva |
Tim peneliti Brown University berhasil merancang alat biologik yang dapat mengukur kadar glukosa dalam saliva (air liur). Teknik ini dapat menghilangkan kebutuhan pengukuran glukosa dengan pengambilan sampel darah. "Biochip" tersebut menggunakan interferometer plasmonik dan dapat digunakan untuk mengukur sejumlah senyawa boliogik dari lingkungan.
Untuk 26 juta pasien diabetes di Amerika Serikat, pengambilan sampel darah merupakan cara yang pasling sering digunakan untuk memeriksa kadar glukosa. Metode ini bersifat invasif dan minimal mengakibatkan nyeri. Tim peneliti ini mengembangkan suatu sensor baru yang mampu memeriksa kadar glukosa bukan dari darah, melainkan dari saliva atau air liur.
Teknik ini memanfaatkan berkembangnya nanoteknologi dan plasmonik permukaan, yang memeriksa interaksi elektron dan foton. Tim peneliti ini memasukkan ribuan interferometer plasmonik ke dalam biochip berukuran sebesar kuku jari, dan mengukur kadar molekul glukosa dalam air pada biochip. Biochip ini mampu mengukur kadar glukosa saliva yang kadarnya 100 kali lebih kecil dibanding kadarnya dalam darah.
Pimpinan Studi Profesor Domenico Pacifici menyatakan bahwa hasil studi ini membuktikan bahwa konsep interoferometer plasmonik dapat digunakan untuk mendeteksi molekul dengan kadar rendah, menggunakan sidik jari kaki yang 10 kali lebih kecil dari ukuran rambut manusia. Teknik ini dapat digunakan untuk mendeteksi zat atau senyawa kimiawi lain, dari kuman anthrax sampai komponen bilogik secara sekaligus dan paralel menggunakan biochip yang sama.
Untuk menciptakan sensor, pada celah lebar sekitar 100 nanometer, dimasuki dua alur ukuran 200 nanometer pada setiap sisi celah, yang dapat menangkap foton yang datang dan mengurungnya. Sementara itu, alur tadi menyebarkan foton yang datang, yang kemudian berinteraksi dengan elektron bebas-foton menciptakan suatu permukaan polariton plasmon, yaitu suatu gelombang khusus dengan panjang gelombang yang lebih sempit dibanding foton di dalam ruang bebas. Gelombang plasmon permukaan ini bergerak sepanjang permukaan sensor sampai menemukan foton di dalam celah, mirip dengan dua gelombang di laut yang datang dari arah berbeda dan saling bertabrakan.
Interferensi di antara kedua gelombang menentukan maksimal dan minimal intensitas cahaya yang ditransmisikan melalui celah. Adanya analit (bahan kimiawi yang diukur) pada permukaan sensor menghasilkan perubahan pada perbedaan fase relatif di antara kedua permukaan gelombang plasmon, sehingga menyebabkan perubahan dalam intensitas cahaya yang dapat diukur secara "real time". Celah ini bertindak sebagai pencampur untuk tiga berkas cahaya dan gelombang plasmon permukaan.
Para peneliti menemukan banyak fase untuk suatu interferometer dapat diubah dengan mengubah jarak antara alur dengan celah, jadi interferensi yang dihasilkan oleh gelombang dapat diatur. Para peneliti dapat mengatur ribuan interferometer untuk menentukan nilai dasar, yang dapat digunakan untuk mengukur secara akurat kadar glukosa. dalam air sekecil 0,36 mg per desiliter. Biochip ini dapat digunakan melakukan skrining berbagai penanda sekaligus dan paralel, pada seseorang individu dan dengan kepekaan yang sangat tinggi.
Tim peneliti ini merencanakan untuk mengembangkan sensor yang khusus digunakan untuk glukosa dan senyawa lain, yang selanjutnya akan dilakukan uji pada alat tersebut. Metode baru ini akan mampu melakukan deteksi secara sangat cepat dari analit lingkungan maupun biologik yang relevan dalam suatu rancangan kompak yang mungil. Hal ini dapat terlaksana akibat kepekaan yang dihasilkan oleh teknologi modern
Info yang sangat bagus
ReplyDeleteNice Info....
ReplyDeleteinfonya sangat menarik,sambil baca baca ya
ReplyDeleteternyata melalui air liur juga bisa mengukur kadar glukosa pada tubuh kita ya sob, makasih atas informasinya sobat
ReplyDelete