Kesalahpahaman, diskriminasi, dan stigma sosial yang negatif membuat penyandang epilepsi menjadi „terjebak dalam kegelapan“, dan cenderung menutup diri.
"Ayo Di, kita main bola lagi"
"Ma, Adi main bola lagi ya"
Penyakit epilepsi bukan penyakit menular dan bukan penyakit turunan.
ITULAH kira-kira dialog yang ada pada iklan layanan masyarakat tentang penyakit epilepsi yang banyak diputar di era 90-an. Kendati sosialisasi melalui iklan layanan masyarakat yang menggambarkan bahwa epilepsi bukanlah momok menakutkan sebagai penyakit menular yang tidak bisa disembuhkan sudah dilakukan, namun anggapan masyarakat terhadap penyakit ini tetap masih negatif. Hingga saat ini, masih berkembang stigma negatif yang sangat merugikan penderita epilepsi.
Kesalahpahaman, diskriminasi, dan stigma sosia yang negatif membuat penyandang epilepsi menjadi "terjebak dalam kegelapan'/dan cenderung menutup diri.
"Ayo Di, kita main bola lagi"
"Ma, Adi main bola lagi ya"
Penyakit epilepsi bukan penyakit menular dan bukan penyakit turunan.
ITULAH kira-kira dialog yang ada pada iklan layanan masyarakat tentang penyakit epilepsi yang banyak diputar di era 90-an. Kendati sosialisasi melalui iklan layanan masyarakat yang menggambarkan bahwa epilepsi bukanlah momok menakutkan sebagai penyakit menular yang tidak bisa disembuhkan sudah dilakukan, namun anggapan masyarakat terhadap penyakit ini tetap masih negatif. Hingga saat ini, masih berkembang stigma negatif yang sangat merugikan penderita epilepsi.
Kesalahpahaman, diskriminasi, dan stigma sosia yang negatif membuat penyandang epilepsi menjadi "terjebak dalam kegelapan'/dan cenderung menutup diri.
Bukan Karena Kesurupan Mental, Zaman memang sudah jauh semakin maju. Namun sampai saat ini, masih menjamur konsep yang salah tentang epilepsi, misalnya epilepsi sering dikaitkan dengan sakit mental/orang gila hingga kepemilikan setan. Pada zaman kuno, epilepsi dikenal sebagai "Penyakit Suci" karena orang berpikir bahwa serangan epilepsi adalah bentuk serangan oleh setan, atau bahwa penglihatan yang dialami oleh orang-orang dengan epilepsi dikirim oleh para dewa.
Padahal menurut Dr. Lyna Soertidewi, SpS, M.Epid, epilepsi merupakan suatu gangguan fungsi otak yang terjadi akibat letupan berlebihan muatan listrik pada sel otak (neuron). Akibat gangguan pada muatan sel otak tersebut, bisa tampak (manifestasi) sebagai berbagai macam gejala yang timbul sesuai dengan daerah otak yang terganggu, yang dapat bersifat secara berselang sebentar bentar atau berulang. Misalnya, ketika daerah otak yang terkena adalah daerah pusat kesadaran, maka gejala yang timbul adalah bengong/lena sesaat. Namun jika yang terkena adalah daerah motorik, maka gejala yang timbul adalah kejang. Nah, bentuk manifestasi kejang inilah yang paling banyakterjadi dan dikenal oleh masyarakat luas, walaupun tidak semua kejang berarti epilepsi.
Bukan Penyakit Menular
Kasus epilepsi cukup sering dijumpai. Rata-rata prevalensi epilepsi aktif 8,2/1000 penduduk, sedangkan angka insidensi mencapai 50 per 100.000 penduduk. Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, diperkirakan jumlah pasien epilepsi yang masih membutuhkan pengobatan sekitar 1,8 juta. Prevalensi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, meningkat lagi pada kelompok usia lanjut.
Namun, meski faktanya demikian, masyarakat tidak perlu takut bahwa epilepsi merupakan penyakit menular. Karena epilepsi adalah gangguan di saraf. Bukan pula penyakit keturunan walaupun dapat disebabkan oleh faktor kelainan genetik. Jadi bila kesalahan informasi ini masih saja diteruskan, Pasien epilepsi akan terus berada dalam posisi terpojok sebagai orang yang "kurang layak" dinikahi karena penyakitnya itu.
Epilepsi Bisa Disembuhkan
Tidak sedikit orang tua yang mence¬maskan masa depan anaknya saat buah hati mereka divonis epilepsi. Orang tua umumnya berpkir penyakit ini tidak bisa disembuhkan dan akan terus terbawa hingga mereka tua nanti.
Kabar baik disampaikan Dr. Hardiono D Pusponegoro, SpA(K) yang mengemukakan, "Epilepsi bisa disembuhkan dengan total." Asal, terdeteksi dari awal. Agar sembuh, mereka juga dituntut untuk berobat secara teratur." kata Dr. Hardiono. Pengobatan yang dilakukan sangat individual. Umumnya 2-3 tahun bebas serangan epilepsi, obat bisa diturunkan dosisnya lalu dihentikan. Tapi, bisa juga sampai 5 tahun pengobatannya. Selama pengobatan, pasien harus disiplin dan tidak boleh menghentikan sendiri pengobatan dengan alasan tidak ada serangan lagi. Penghentian obat secara mendadak dapat mengakibatkan serangan baru yang dapat memiliki dampak yang serius, seperti serangan epilepsi beruntun.
Dikucilkan Masyarakat
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitu mungkin kiasan yang pas untuk menggambarkan penderitaan penyandang epilepsi. Di tengah kesabaran dan ketegarannya melawan penyakit, psikis penyandang epilepsi makin diuji dengan perlakuan yang tidak adil terhadap mereka.
Penyandang Epilepsi (PE) kerap mendapat Isolasi dan pengucilan dari masyarakat. Ini sebagai bentuk karena ada rasa takut bahwa orang dengan epilepsi saat bangkitan akan meninggal. Epilepsi memang kerap terlihat menakutkan saat si penderita mengalami jatuh pingsan dan kejang. Disarankan orang di sekiling PE tetap tenang dan melakukan beberapa tindakan agar bangkitannya tidak membahayakan mereka. Berikut yang perlu dilakukan apabila terjadi bangkitan epilepsi,yaitu:
• Bersikaplah tenang, beradalah di samping orang tersebut.
• Miringkan kepalanya untuk memberikan udara dan mencegah penyumbatan udara oleh air liur.
• Longgarkan pakaian yang ketat seperti dasi sehingga memungkinkan tetap mendapat udara.
• Lindungi dari bahaya (terutama benda tajam).
• Jangan memasukan apapun ke dalam mulutnya.
• Jangan menahan gerakan yang bersangkutan.
• Bila keadaan berbahaya segera bawa ke rumah sakit dan hubungi dokter.
Pekerjaan yang dilarang untuk Penderita Epilepsi
Di lingkup perkotaan, persoalan diskriminasi terhadap penderita epilepsi tidak terlalu mengemuka. Ini mungkin terkait dengan pemahaman masyarakat kota yang sudah baik. Lain halnya bila di pelosok-pelosok daerah. Tidak sedikit PE yang terpasung kebebasannya dalam mencari sekolah ataupun nafkah pekerjaan. Yang lebih ironis lagi, Dr. Lyna pernah menemukan pasien yang dipasung ragnya akibat penyakitnya itu. Pun tidak sedikit juga penderita epilepsi yang putus sekolah dan menjadi pengangguran. Begitupun dengan kasus bunuh diri yang dilakukan para penderita epilepsi yang tidak sanggup hidup dengan epilepsi.
Terkait pekerjaan, Pasien Epilepsi sudah memiliki problem saat melamar pekerjaan karena tidak semua pekerjaan diperbolehkan dilakukan. Pekerjaan yang tidak diperbolehkan karena akan membahayakan keselamatan adalah pilot,sopir ambulans, supir taksi, operator kereta api, operator alat berat, bidan, tentara dan polisi, pemadam kebakaran dan juga kapten kapal.
Kesempatan kerja yang terbuka luas adalah harapan bagi orang dengan disabilitas. Di AS, kepala pengadilan tinggi John Robert, mempelopori hukum yang melindungi orang dengan disabilitas yang mengalami kendala dalam mencari pekerjaan. Hukum tersebut ADA (Americans with Disabilities Act) yang mulai diimplementasikan tahun 1990. "Sayangnya di Indonesia belum ada."
No comments :
Post a Comment